Fenomena Is You
Masih
ingatkah kamu tentang gerhana bulan Penumbra yang terjadi pada 23 Maret 2016
lalu? Atau tentang Blue Moon yang diperkirakan akan muncul pada 21 Mei 2016
mendatang. Selain itu juga ada Hello Matahari, Crop Circle, Api Abadi di Jawa
Tengah, Salju Abadi di Jayawijaya, Seruling Laut di pantai Klayar dan banyak
lainnya. Inilah yang disebut dengan fenomena kawan.
Fenomena
secara harfiah merupakan hal-hal yang
dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara
ilmiah seperti fenomena alam yang pernah terjadi di Indonesia. Fenomena
juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang
luar biasa sesuai dengan fakta
dan kenyataan.
Dan
taukah kamu, apa pula yang dimaksud dengan fenomena sosial? Fenomena sosial dapat
didefenisikan sebagai kondisi dimana
kita menganggap segala hal yang kita alami dan jalani adalah sebuah kebenaran
absolut. Padahal sebenarnya, hal itu hanyalah sebuah kebenaran semu yang dibuat
melalui simulasi simbol-simbol, kode-kode yang dicitrakan dari sebuah objek
yang kita anggap sebagai sesuatu yang lumrah.
Seperti halnya yang sedang terjadi pada saat sekarang ini.
Media Digital khususnya Media sosial merupakan salah satu fenomena yang sedang
menjadi buah bibir dan sangat digandrungi oleh cendikiawan-cendikiawan dunia. Bahkan di Indonesia, fenomena ini
sangat sering dibicarakan. Baik dari omelan para ibu-ibu yang anaknya mulai
kecanduan sebuah benda yang disebut-sebut bernama gudget maupun di kelas-kelas
universitas. Keberadaannya pun sangat mudah ditemukan, mulai dari WC umum,
kelompok diskusi, taman hiburan, mushallah, dan ada juga yang menggunakannya
ketika guru atau dosen sedang mengajar.
Banyak yang mengatakan ini merupakan sebuah proses. Proses
dimana kita pada akhirnya membabukan diri kita terhadap perubahan zaman. Tidak
beda ketika kita akan dijajah Belanda puluhan tahun silam. Awalnya bangsa kita
dengan sangat ramah tamah menyambut kedatangan bangsa kincir angin itu dengan
beribu senyum. Memberikan apa yang mereka inginkan. Dan akhirnya mereka menekan
tengkuk kita dan menguasai tanah kita. Terlalu
naïf memang, apabila harus dipersamakan dengan masa penjajahan dulu. Namun, ini
lah kenyataannya.
Pertanyaannya.
Siapa yang salah? Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang harus dikambing
hitamkan? Siapa yang menjadi siapa? Siapa
yang selalu menjadi perbincangan di setiap waktu. Apakah siapa telah menjadi aku, aku menjadi kamu, kamu menjadi kita, kita
menjadi kami, dan kami menjadi mereka. Siapa
yang peduli !!!
Apatis. Sebuah kata yang menggambarkan kebobrokan mental
kita. Dan media sosial menjadi paradoks untuk berpura-pura peduli. Contoh
kecil, ketika dunia memperingati Hari Bumi pada 22 April silam. Banyak dari
kita memberdayakan media sosial seperti Instagram, Facebook, Path, dan twitter
menjadi alat untuk berkampanye. Membuat banyak variasi quote, seperti “Bumi
akan Baik, Jika Kita Juga Baik” atau “
Save Our Earth” namun pada kenyataan dan aplikasinya hanya sebatas quote dan
kampanye belaka. Berpura-pura paham bahwa ini adalah masalah kita bersama. Padahal
kenyataannya, jangankan untuk menyelesaikan masalah, diskusi untuk memulai saja
tidak. Inilah fenomenanya kawan.
Namun tidak semua cerita buruk diatas memberikan efek yang
buruk pula. Media sosial tidak hanya tentang selfie, update status meye meye, ataupun share foto dan video. Banyak juga
anak muda yang memanfaatkan media sosial dengan sangat bijak. Memanfaatkan
moment untuk meraup penghasilan. Menjadi entrepreneur dari pada harus
repot-repot menambah panjang antrian pelamar kerja. Menciptakan masalah menjadi
peluang. Serta menjadi Bos untuk diri sendiri.
Sekarang yang menjadi persoalan adalah bagaimana membentuk
pribadi yang peka terhadap suatu fenomana. Boleh saja terlena dan berjalan
ditempat namun segera sadar dan memulai untuk melangkah maju. Mungkin heidonisme
telah menjadi landmark di dunia digital seperti sekarang ini. Namun, apakah
heidonisme harus melulu menjadi perguncingan para idealis? Padahal sebenarnya
untuk menghasilkan suatu inovasi yang baru, dibutuhkan beberapa persen
heidonisme.
Think of the Solution…!!!
Mitosnya, kemampuan manusia dalam
menggunakan sistem otak mereka tidak lebih dari 10%. Kita anggap saja
pernyataan itu benar. Terus apakah kita sebagai manusia yang jelas-jelas
dikatakan didalam al-kitab bahwasannya manusia merupakan makhluk yang paling
sempurna karena memliki akal pikiran dapat menerima mitos tersebut?
Lets do it…
Pergunakan 10% kemampuan otakmu
untuk menciptakan fenomena yang dapat mengubah persepsi dunia tentang efek
negative media digital. Ubah heidonisme menjadi inovasi yang apik sehingga
dapat menciptakan ruang lingkup sendiri. Jangan jadikan media digital hanya
sebagai candu kebobrokan. Namun, membentuk paradoks yang menjadi
kenyataan. Jadilah seperti Mark
Zuckerberg, Sergey Brin dan Larry Page, Andrew Darwis, Chad
Hurley, Matt Mullenweg.
Yang menggunakan 10% sistem otak mereka dengan sangat bijaksana. Caranya, manfaatkan bakat, usaha dan imajiansimu. Karena,
Fenomena is You.
Komentar
Posting Komentar