Dandelion Diseberang Ilalang

Lila, apa kabarmu?
Masihkah kau berjalan seperti dulu? Memakai jaket coklat itu dan memegang saku celana sebelah kananmu? Masihkah kau dengan rambut klimis sebahu dan kumis tipis diatas bibirmu? Masihkah kau sering memanggil merpati merpati biru?
Masihkah?

Januari lila, aku sudah dibulan ini lagi. Biarkan aku berbicara kali ini. Meski tanpa kau, meski tanpa spekulasimu, meski tanpa cemberutmu ketikaku berpura pura mengalah.

Kemarin, sebelum januari tepat berada dihariku. Aku pergi ketempat kita sering bercengkrama dulu. Seakanku melihatmu. Disana masih ada dandelion kesukaanmu, masih putih seperti biasanya. Sedang apa kau saat itu, pikirku.

Aku memetik sebatang dandelion, memejamkan mata dan menghembuskannya ke udara sembari mengingat setahun yg lalu. Ya, setahun lalu lila, setelah malam itu. Setelah kau sambarkan petir ditelingaku, setelah aku benar² menaruh hati ini padamu, setelah kata-kata manismu yg mmbuatku beraurora.

"Zayya, kita udahan aja ya..."
Seandainya kau tau, aku terasa hangus saat itu. Walauku hanya berkata "Oke..."

Lila, kau mmbuatku menangis lagi. Setelah bermega mega volt kau menyambarku. Belum sembuh luka bakar ini. Kau sudah menggandeng wanita berhijab itu. Aku tak tau apakah wanita itu setelah atau sebelum aku. Aku tak tau lila, tak pernah tau. Kau tau, aku seperti kertas basah yg diremukkan. Lebur begitu lebur. Dan aku hanya bisa tersenyum dan bilang "I will be fine".

Sudah la, kini aku sudah tak menangis Lila.
Seperti pintamu " kumohon jangan menangis zayya". Kini aku sudah paham, kau tak memilihku.

Dan pagi ini, aku menemukan secarik surat beramplop jingga. Terselip diantara tumpukan puisimu. Aku lupa, kau pernah mmberikan padaku.

02 januari
Zayya, maafkan aku. Aku tau dibalik diammu, dibalik "i am oke" mu, dibalik senyum pura² tegarmu. Dibalik semua itu, ada "mengapa" yg tak pernah kau ucap. Ada sakit yg kau tutupi begitu tebal. Aku tau...
Maaf, hanya surat ini yg berani aku hadirkan padamu. Maaf, aku memang pengecut.
Zayya akan kuceritakan semuanya. Saat aku bertemu denganmu untuk yg pertama kalinya. Aku seperti sekam kosong  tanpa asap yg kedinginan. Dan kau datang sebagai tanah gambut, tanah gambut yg begitu hangat memelukku. 
Hari yg kita lewati, saling menghangati, saling berbagi rasa. Semuanya menimbulkan dan memercikan api. Dan kau ternyata tanah gambutku yg mudah terbakar. Sungguh Zayya, aku kepanasan.
Maaf, aku takut aku juga terbakar. Karna ada yg belum kukatakan padamu. Aku sudah dimiliki.
Sungguh aku minta maaf... Dan kumohon jangan menangis zayya. 

***

Ingin kukatakan padamu, aku bukan tanah gambutmu. Aku hanya dandelion yang kau petik dan genggam, kemudian kau hembuskan ketika aku tak ingin pisah dari induk semangku. Dan kau bukan sekam kosong yg kedinginan, tetapi fatamorgana diseberang ilalang.
"Mengapaku" juga sudah menjelma menjadi merpati biru yg sombong. Yg menjauh ketika aku mendekat. Ingin kukatakan, tetapi kita tidak pernah bertemu. Jujur, aku Rindu Lila.
Sedang apa kau saat ini?
Apakah kau bahagia?
Apakah kau masih memetik dandelion dan menghembuskannya?
Apakah kau masih menulis puisimu untuk pramoedia?
Dan apakah kau merindukanku sepertiku merindukanmu?

Lila, aku harap kau tau. Aku disini. Dandelionmu. Wlo kau hanya menganggapku sebagai tanah gambutmu
Dan Lila, aku sudah tak menangis....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku melihat Tuhan dari wajah seorang Jejaka

Siapa Aku...?